Agama
di Indonesia
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam
ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama
di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.
Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah
pemeluk Islam, 8,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% kepercayaan
lainnya.
Dalam
UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih
dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk
menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.Pemerintah, bagaimanapun, secara
resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Konghucu.
Dengan
banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar
agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis
Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun
golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah
konflik di wilayah timur Indonesia.
Sejarah
Berdasar
sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan
kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab,
dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan
telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia
Hindu
dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad kedua dan abad keempat Masehi
ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa dan Sulawesi, membawa agama
mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan
kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada
abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah
mempengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan
Sailendra.Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh
Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu,
Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit,
terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah
Indonesia.
Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-14 M. Berasal dari Gujarat, India, Islam
menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau
Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak,
Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah
dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa
masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad
ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme
di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama
orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan.
Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun
tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris
ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang
menjadi pemeluk Protestan.
Perubahan
penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun
1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan
beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk
di abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba
untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang
mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI
adalah ateis.Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk
membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini
mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar
berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu
bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga
berpindah ke Kristen atau Buddha
Perkembangan Islam di Indonesia
Pada
masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku
bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika
dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran
jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan
Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan
suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir,
lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya
yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Dalam
masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang
bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di
Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama
Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat
yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat
yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam
tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi
pedagang-pedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu
agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu
persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut
alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya
daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan
lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur
masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses
islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua
pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan
masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan
politik , ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat
memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup,
lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan
agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada.
Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling
pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan
pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai
pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya
dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara
negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan
pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak
zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang
berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang
Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar
agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Tata
cara islamisasi melalui media perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan
jalan mengadakan kontak secara langsung dengan penerima, serta dapat pula
terjadi dengan lambat melalui terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat
muslim terlebih dahulu. Para pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar
negeri, berkumpul dan menetap, baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya,
di suatu daerah, sehingga terbentuklah suatu perkampungan pedagang muslim.
Dalam hal ini orang yang bermaksud hendak belajar agama Islam dapat datang atau
memanggil mereka untuk mengajari penduduk pribumi.
Selain
itu, penyebaran agama Islam dilakukan dgn cara perkawinan antara pedagang
muslim dgn anak-anak dari orang-orang pribumi, terutama keturunan bangsawannya.
Dengan perkawinan itu, terbentuklah ikatan kekerabatan dgn keluarga muslim.
Media
seni, baik seni bangunan, pahat, ukir, tari, sastra, maupun musik, serta media
lainnya, dijadikan pula sebagai media atau sarana dalam proses islamisasi.
Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir pada masa-masa
penyeberan agama Islam, terbukti bahwa proses islamisasi dilakukan dgn cara
damai. Kecuali itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi
seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat islamisasi yang sangat
bijaksana dan dengan mudah menarik orang-orang nonmuslim untuk dengan
lambat-laun memeluk Islam sebagai pedoman hidupnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, golongan penerima dapat menjadi pembawa atau penyebar
Islam untuk orang lain di luar golongan atau daerahnya. Dalam hal ini,
kontinuitas antara penerima dan penyebar terus terpelihara dan dimungkinkan sebagai
sistem pembinaan calon-calon pemberi ajaran tersebut. Biasanya santri-santri
pandai, yang telah lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu tempat dan
kemudian kembali ke daerahnya, akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam
yang telah diperolehnya. Mereka kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam.
Agama
Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di
berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf
permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian,
proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang
dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat
pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan
sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia
telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Pada
umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan
maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai
sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula
golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan
atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
Kedatangan
Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula dengan
kerajaan-kerajaan dan daerah yang didatanginya, ia mempunyai situasi politik
dan sosial budaya yang berlainan. Pada waktu kerajaan Sriwijaya mengembangkan
kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8, Selat Malaka sudah mulai dilalui
oleh para pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara
dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman T’ang pada abad-abad tersebut,
diduga masyarakat muslim telah ada, baik di kanfu (kanton) maupun di daerah
Sumatra sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat
internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat atau timur mungkin
disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat
maupun kerajaan Cina zaman dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya
di Asia Tenggara. Adalah suatu kemungkinan bahwa menjelang abad ke-10 para
pedagang Islam telah menetap di pusat-pusat perdagangan yang penting di
kepulauan Indonesia, terutama di pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka,
terusan sempit dalam rute pelayaran laut dari negeri-negeri Islam ke Cina. Tiga
abad kemudian, menurut dokumen-dokumen sejarah tertua, permukiman orang-orang
Islam didirikan di Perlak dan Samudra Pasai di Timur Laut pantai Sumatra.
Saudagar-saudagar
dari Arab Selatan semenanjung tanah Arab yang melakukan perdagangan ke tanah
Melayu sekitar 630 M (tahun kesembilan Hijriah) telah menemui bahwa di sana
banyak yang telah memeluk Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriah, atau sekitar abad ke tujuh dan
kedelapan Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar dari Arab. Dengan demikian,
dakwah Islam telah tiba di tanah Melayu sekitar tahun 630 M tatkala Nabi
Muhammad saw. masih hidup. Keterangan lebih lanjut tentang masuknya Islam ke Indonesia
ditemukan pada berita dari Marcopolo, bahwa pada tahun 1292 ia pernah singgah
di bagian utara daerah Aceh dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia melalui
laut. Di Perlak ia menjumpai penduduk yang telah memeluk Islam dan banyak para
pedagang Islam dari India yang giat menyebarkan agama itu.
Para
pedagang muslim menjadi pendukung daerah-daerah Islam yang muncul kemudian, dan
daerah yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam ialah
Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut sebagai
kerajaan Islam yang pertama diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu dimungkinkan
dari hasil proses islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi
para pedagang muslim sejak abad ketujuh. Sultan yang pertama dari kerajaan
Islam Samudra Pasai adalah Sultan Malik al-Saleh yang memerintah pada tahun
1292 hingga 1297. Sultan ini kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Sultan Muhammad Malik az-Zahir. Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi pusat
studi agama Islam dan meru pakan tempat berkumpul para ulama Islam dari
berbagai negara Islam untuk berdis kusi tentang masalah-masalah keagamaan dan
masalah keduniawian. Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, seorang pengembara
asal Maroko yang mengunjungi Samudra Pasai pada 1345, dikabarkan bahwa pada
waktu ia mengunjungi kerajaan itu, Samudra Pasai berada pada puncak
kejayaannya. Dari catatan lain yang ditinggalkan Ibnu Batutah, dapat diketahui
bahwa pada masa itu kerajaan Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang sangat
penting, tempat kapal-kapal datang dari Tiongkok dan India serta dari
tempat-tempat lain di Indonesia, singgah dan bertemu untuk memuat dan
membongkar barang-barang dagangannya.
Kerajaan
Samudera Pasai makin berkembang dalam bidang agama Islam, politik, perdagangan,
dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai, sehingga di Malaka pun sejak
abad ke-14 timbul corak masyarakat muslim. Perkembangan masyarakat muslim di
Malaka makin lama makin meluas dan akhirnya pada awal abad ke-15 berdiri
kerajaan Islam Malaka. Para penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa,
bahkan telah dibangunkan sebuah masjid untuk mereka. Para pedagang yang singgah
di Malaka kemudian banyak yang menganut agama Islam dan menjadi penyebar agama
Islam ke seluruh kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan transaksi
perdagangan.
Kerajaan
Malaka pertama kali didirikan oleh Paramisora pada abad ke-15. Menurut cerita,
sesaat sebelum meninggal dalam tahun 1414, Paramisora masuk Islam, kemudian
berganti nama menjadi Iskandar Syah. Selanjutnya, kerajaan Malaka dikembangkan
oleh putranya yang bernama Muhammad Iskandar Syah (1414–1445). Pengganti
Muhammad Iskandar Syah adalah Sultan Mudzafar Syah (1445–1458). Di bawah
pemerintahannya, Malaka menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Barat,
dengan kemajuan-kemajuan yang sangat pesat, sehingga jauh meninggalkan Samudra
Pasai. Usaha mengembangkan Malaka hingga mencapai puncak kejayaannya dilakukan
oleh Sultan Mansyur Syah (1458–1477) sampai pd masa pemerintahan Sultan Alaudin
Syah (1477–1488).
Sementara
itu, kedatangan pengaruh Islam ke wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi dan
Maluku) tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara
pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut
tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam telah sampai ke daerah Maluku.
Disebutkan bahwa kerajaan Ternate ke-12, Molomateya (1350–1357), bersahabat
karib dengan orang Arab yg memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal, tetapi
agaknya tidak dalam kepercayaan.
Pada
masa pemerintahan Marhum di Ternate, datanglah seorang raja dari Jawa yang
bernama Maulana Malik Husayn yang menunjukkan kemahiran menulis huruf Arab yang
ajaib seperti yang tertulis dalam Alquran. Hal ini sangat menarik hati Marhum
dan orang-orang di Maluku. Kemudian, ia diminta oleh mereka agar mau
mengajarkan huruf-huruf yang indah itu. Sebaliknya, Maulana Malik Husayn
mengajukan permintaan, agar mereka tidak hanya mempelajari huruf Arab,
melainkan pula diharuskan mempelajari agama Islam. Demikianlah Maulana Malik
Husayn berhasil mengislamkan orang-orang Maluku. Raja Ternate yang dianggap
benar-benar memeluk Islam adalah Zainal Abidin (1486–1500).
Dari
ketiga pusat kegiatan Islam itulah, maka Islam menyebar dan meluas memasuki
pelosok-pelosok kepulauan Nusantara. Penyebaran yang nyata terjadi pada abad
ke-16. Dari Malaka, daerah Kampar, Indragiri, dan Riau menjadi Islam. Dari
Aceh, Islam meluas sampai ke Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi. Dimulai sejak
dari Demak, maka sebagian besar Pulau Jawa telah menganut agama Islam.
Banten
yang diislamkan oleh Demak meluaskan dan menyebarkan Islam ke Sumatra Selatan.
Di Kalimantan, kerajaan Brunai yang pada abad ke-16 menjadi Islam, meluaskan
penyebaran Islam di bagian barat Kalimantan dan Filipina. Sedangkan Kalimantan
Selatan mendapatkan pengaruh Islam dari daratan Jawa. Dari Ternate semakin
meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku serta daerah pantai timur
Sulawesi. Pada abad ke-16 di Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Goa. Demikianlah
pada akhir abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Islam telah tersebar dan mulai
meresapkan akar-akarnya di seluruh Nusantara.
Meresapnya
Islam di Indonesia pada abad ke-16 itu bersamaan pula dengan ditanamkannya
benih-benih agama Katolik oleh orang-orang Portugis. Bangsa Portugis ini
dikenal sebagai penentang Islam dan pemeluk agama Katolik fanatik. Maka, di
setiap tempat yang mereka datangi, di sanalah mereka berusaha mendapatkan
daerah tempat persemaian bagi agama Katolik. Hal ini menurut tanggapan mereka
merupakan suatu tugas dan kewajiban yang mendapat dorongan dari pengalaman
mereka menghadapi Islam di negeri mereka sendiri. Ketika pertahanan Islam
terakhir di Granada jatuh pada 1492, maka dalam usaha mereka mendesak agama
Islam sejauh mungkin dari Spanyol dan Portugis, mereka memperluas gerakannya sampai
Timur Tengah yang waktu itu menjadi daerah perantara perdagangan rempah-rempah
yang menghubungkan Timur dengan Barat. Timbullah kemudian suatu hasrat dalam
jiwa dagang mereka untuk berusaha sendiri mendapatkan rempah-rempah yang
menjadi pokok perdagangan waktu itu langsung dari daerah penghasilnya
(Nusantara). Dengan demikian, mereka tidak akan bergantung lagi kepada
pedagang-pedangan Islam di Timur Tengah.
Enam agama utama di Indonesia
Berdasarkan
Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk
oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Hu Cu (Confusius)”.
Islam
Masjid
Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Indonesia.
Indonesia
merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85% dari
jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.Mayoritas Muslim dapat dijumpai di
wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah
timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Sekitar
98% Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni. Sisanya, sekitar dua juta
pengikut adalah Syiah (di atas satu persen), berada di Aceh.
Sejarah
Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan
kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-12, sebagian
besar pedagang orang Islam dari India tiba di pulau Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan
Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke
Islam. Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke
Bali, sebagian Jawa dan Sumatera. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di
Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam
daerah Timur Tengah.
Ada
pula sekelompok pemeluk Ahmadiyah yang kehadirannya belakangan ini
sering dipertanyakan. Aliran ini telah hadir di Indonesia sejak 1925. Pada 9
Juni 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang
praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat
keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.
Kristen Protestan
Kristen
Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada
sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses
berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia.Agama ini
berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan
para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah
barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi
perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang
yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh
sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami
suatu pertumbuhan anggota.
Protestan
membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai
contoh, di pulau Sulawesi, 97% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana
Toraja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Sekitar 75% penduduk di Tana Toraja
adalah Protestan. dibeberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki
sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan
aktivitas para misionaris.
Di
Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan,
yaitu Papua, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara (Batak) dengan 90% – 94% dari
jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh
penduduk asli. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan
pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi
Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari
pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh
persen lebih-kurang; dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen
Protestan.
Hindu
Seorang
perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesajian di tempat suci keluarganya
Kebudayaan
dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya
dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah
kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan
adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti
Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai
berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan
selama 16 abad penuh.
Hindu
di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh,
Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak
pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu
Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang
dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah
terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih
dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan
atau Islam Kejawen.
Semua
praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum,
kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan
satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan didalam jiwa dan semangat, serta karma
atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas
siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait
dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan,
agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding
kitab, hukum dan kepercayaan.
Menurut
catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta
orang), sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor
empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia,
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada
18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut
Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan
pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di
Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu
Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).
Buddha
Bhikku
Buddha melakukan ritual keagamaan mereka di Borobudur
Buddha
merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam
masehi.]Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan
erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar
periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram.
Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai
pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia.
Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di
Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.
Mengikuti
kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan
lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri
Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan
bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan
sejarah di belakang versi Buddha Indonesia di masa lampau menurut teks Jawa
kuno dan bentuk candi Borobudur.
Menurut
sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia
beragama Buddha, sekitar 1,8 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha
berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra
Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat
agama Konghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia,
sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.
Kristen Katolik
Katedral
di Jakarta
Umat Katolik Perintis di Indonesia: 645 – 1500
Agama
Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad
ketujuh di Sumatera Utara. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr.
Sucipto Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan
berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih
luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli
sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita-berita
tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di
luarnya”. yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang
tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan
Indonesia.
Dengan
terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat
mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini
terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Utara adalah tempat kediaman
umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja
dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik Indonesia seri
1, diterbitkan oleh KWI)
Awal mula: abad ke-14 sampai abad ke-18
Dan
selanjutnya abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau
bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik
di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa
Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Banyak
orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di
Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan
1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu
dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.
Pada
abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado &
Minahasa, salah satunya adalah menyebarkan agama Kristen Katolik namun hal
tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol & Portugis
dari Sulawesi Utara. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi
kedudukannya di Maluku.
Selama
masa VOC, banyak praktisi paham Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan
kebijakan VOC yang mengkritisi agama itu. Yang paling tampak adalah di Sulawesi
Utara, Flores dan Timor Timur. Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia
adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka
kebanyakan tinggal di Papua dan Flores.
Konghucu
Agama
Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa
dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di
kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih
menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada
kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir
dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk
Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK)
di Batavia (sekarang Jakarta).
Setelah
kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan
politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No.
1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam,
termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui
Indonesia (PKCHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu
merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.
Tahun
1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi
keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI
yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan
instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan
Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka.
Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa
Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi
memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. Di tahun yang sama,
Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di
dalam negeri” di depan konferensi PKCHI.
Pada
tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan presiden tahun
1967 mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada
1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama
resmi, tidak termasuk Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu
pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama.
Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang
menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.
Karenanya,
status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu,
tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu
tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya
Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah
diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran
perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang
hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah
reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid
dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No.
14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini
secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua
yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga
Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan
ajaran dan tradisi mereka.
Agama dan kepercayaan lainnya
Beberapa
agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia:
Yahudi
Terdapat
komunitas kecil Yahudi yang tidak diakui di Jakarta dan Surabaya. Pendirian
Yahudi awal di kepulauan ini berasal dari Yahudi Belanda yang datang untuk
berdagang rempah. Pada tahun 1850-an, sekitar 20 keluarga Yahudi dari Belanda
dan Jerman tinggal di Jakarta (waktu itu disebut Batavia). Beberapa tinggal di
Semarang dan Surabaya. Beberapa Yahudi Baghdadi juga tinggal di pulau ini. Pada
tahun 1945, terdapat sekitar 2.000 Yahudi Belanda di Indonesia. Pada tahun
1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazim di
Jakarta dan Sephardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun
1963. Pada tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di
Jakarta dan sedikit keluarga Baghdadi di Surabaya.
Yahudi
di Surabaya memiliki sinagoga, satu-satunya sinagoga di Indonesia. Mereka
memiliki sedikit hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan
yang diberikan pada sinagoga.
Baha’i
Di
Indonesia hadir sejumlah pemeluk agama Baha’i. Berapa jumlah mereka sebenarnya
tidak diketahui dengan pasti karena seringkali mereka mengalami tekanan dan
penolakan dari masyarakat sekitarnya. Salah satu penganut agama Baha’i yang
diketahui secara terbatas adalah belasan penganut di sebuah wilayah di Kota
Samarinda, Kalimantan Timur.
Kristen Ortodoks
Meskipun
Kristen Ortodoks sudah hadir di Indonesia melalui kaum Non-Kalsedon di Sumatera
pada abad ke-7, baru pada abad ke-20 Gereja ini hadir dengan resmi. Ada dua
kelompok Ortodoks di Indonesia, yaitu Gereja Ortodoks Yunani, dan Gereja
Ortodoks Siria yang berkiblat ke Antiokhia.
Hubungan antar agama
Walaupun
pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama
kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto perundang-undangan
yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto
mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama
dan agama. Sebagai hasilnya, Buddha dan Konghucu telah diasingkan.
Antara
1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan
memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet.
Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah
menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Golongan Islam, yang dipimpin oleh
Jenderal Prabowo, berpihak pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari
golongan nasionalis, berpegang pada negara sekuler.
Semasa
era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan
oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini
adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali
dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan
Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai
kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah
non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam
dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi
Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal
ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras
di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso di tahun 2005.
Pemerintah
telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan
pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi
Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam
Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan
mengurangi ketegangan tersebut.[ Pada 6 Desember 2004, dibuka
konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat
Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi
itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru
dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama
antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di
Indonesia. Pemerintah Australia, yang diwakili oleh menteri luar
negerinya, Alexander Downer, sangat mendukung konferensi tersebut.
Animisme
Kepercayaan
terhadap benda mati (animisme) di Indonesia sama dengan penyembah benda mati di
dunia lainnya, yang mana, suatu kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti
pohon, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini telah ada dalam sejarah Indonesia
yang paling awal, di sekitar pada abad pertama, tepat sebelum Hindu tiba
Indonesia. Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih
tersisa di beberapa wilayah di Indonesia. Bagaimanapun, kepercayaan ini tidak
diterima sebagai agama resmi di Indonesia, sebagaimana dinyatakan didalam
Pancasila bahwa kepercayaan itu pada Ketuhanan Yang Maha Esa atau
monoteisme. Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa
tertentu.
0 comments:
Post a Comment